top of page
Search

Harga Minyak Naik: Harga BBM perlu naik?


ree

Pendahuluan

Harga minyak pada beberapa pekan terakhir terus menerus mengalami kenaikan. Pada hari Jumat tanggal 5 Oktober 2018 harga minyak Brent crude oil mencapai harga 85.01 USD/bbl. Sedangkan WTI crude oil mencapai harga 74.86 USD/bbl. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor geopolitik yang terjadi di dunia.


Faktor pertama penyebab turunnya harga minyak antara lain adalah sanksi nuklir Iran yang telah ditetapkan oleh Amerika terhitung tanggal 4 November 2018. Sanksi AS sudah mengekang ekspor dari Iran. "Ekspor dari produsen terbesar ketiga OPEC jatuh lebih cepat dari yang diperkirakan dan akan lebih buruk menjelang gelombang kedua sanksi AS," kata Stephen Brennock, analis di PVM Oil Associates.


Faktor kedua penyebab kenaikan harga minyak dunia adalah kondisi perekonomian di Venezuela yang semakin melemah. Mengutip The Economist, Kamis (8/2/2018), banyak ekonom dan bankir bank sentral menyebut kondisi inflasi yang dialami Venezuela sebagai hiperinflasi. Istilah ini biasanya digunakan untuk mendeskripsikan kondisi di mana harga konsumen naik setidaknya 50 persen dalam sebulan. Hal ini berpengaruh terhadap total produksi Venezuela yang akan merosot tajam dan mengurangi suplai pasar.


Faktor ketiga adalah Permian Bottleneck Effect di Texas. Cekungan Permian di Texas menjadi pemimpin produksi seiring produksi minyak AS yang telah mencapai rekor tertingginya sepanjang masa. Namun, tingginya produksi menyebabkan kemacetan (bottleneck) mengingat pipa pengangkut minyak mentah terisi lebih cepat dibandingkan perkiraan sehingga menekan harga di kawasan. Hal ini menyebabkan proses produksi dari lapangan ini terganggu.


Dengan naiknya harga minyak dunia yang menembus US$80 bbl/hari, Indonesia sebagai negara pengimpor minyak mendapatkan beban berat atas dampak naiknya harga minyak dunia. Pengamat Energi Komaidi Notonegoro berpendapat bahwa tingginya harga minyak dunia cenderung berdampak negatif terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Meski, Pemerintah menerima untung juga dari kenaikan harga minyak tersebut. Komaidi Notonegoro menjelaskan, “Kalau konsisten mekanisme subsidi, kenaikan harga minyak cenderung negatif terhadap struktur APBN. Ada tambahan penerimaan, sisi lain tapi ada beban subsidi.”


Meskipun Indonesia mendapat kerugian dari kenaikan harga minyak karena pengeluaran pada impor minyak bertambah, akan tetapi, kenaikan harga minyak juga menguntungkan pada bisnis hulu migas di Indonesia karena mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Akan tetapi, penghasilan dari sisi hulu tidak dapat menutup pengeluaran dari sisi import hilir.


Kenaikan harga minyak mentah berpegaruh kepada membengkaknya subsidi yang ditanggung Pemerintah atau PT Pertamina. Saat ini Pemerintah memutuskan untuk menahan harga bahan bakar solar dan minyak tanah.


Selain harga solar dan minyak tanah yang ditahan Pemerintah, harga dari premium yang sudah dipatok oleh Pemerintah juga tidak ikut naik. Pemerintah memang tidak mensubsidi premium, tetapi beban subsidi itu beralih ke Pertamina dan PT PLN (Persero).

Selain itu, program BBM satu harga turut membebani keuangan Pertamina, ditambah dengan kewajiban penyaluran kembali Premium di Jawa dan Bali.


Padahal harga keekonomian Premium berdasarkan hitungannya antara Rp8500 hingga Rp9000 per liter, dan Pemerintah mematok harga Rp6450 per liter. Menurut Komaidi Notonegoro, Pemerintah harus menyesuaikan harga bahan bakar itu sendiri, agar bisa meringankan beban yang diterima oleh Pertamina dengan menaikan harga BBM.


Namun demi menjaga nilai pertumbuhan ekonomi negara, Pemerintah juga tidak bisa serta merta menaikkan harga BBM. Pertumbuhan ekonomi suatu negara salah satunya dihitung dengan formula berikut:


Pertumbuhan ekonomi(t) =[ PDB(t) – PDB(t-1) ]/ PDB(t-1)


Sedangkan PDB dihitung dari beberapa parameter sebagai berikut:


PDB = Konsumsi Publik + Belanja Negara + Investasi + (Ekspor – Impor)


Dengan asumsi besarnya ekspor dan investasi yang tetap serta nilai impor yang naik karena kenaikan harga beli minyak, dapat kita simpulkan bahwa untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi maka konsumsi publik dan belanja negara harus dinaikkan. Namun parameter belanja negara memiliki batasan berupa devisa negara yang dimiliki. Semakin banyak belanja negara maka devisa negara pun akan terus berkurang jika pendapatan tetap. Devisa negara ini perlu dijaga pada angka tertentu, karena menurut Jeffrey Frankel dan George Saravelos dalam papernya “Reserves and Other Early Warning Indicators Work in Crisis After All,” rasio cadangan devisa negara relatif terhadap short-term debt merupakan faktor terpenting dalam menilai apakah suatu negara dapat bertahan dalam krisis. Semakin besar rasio tersebut maka negara akan semakin aman dalam menghadapi krisis.


Maka dari itu paling tidak ada 3 skenario yang diperhatikan oleh Pemerintah dalam menentukan apakah harga BBM harus naik dengan tetap menjaga nilai pertumbuhan ekonomi tersebut.


Skenario Pertama

Skenarionya adalah Pemerintah memutuskan untuk menambah subsidi BBM. Ini berakibat pada belanja negara yang naik dan cadangan devisa yang akan terus berkurang. Dengan tambahan subsidi yang berakibat harga BBM tetap, diharapkan konsumsi publik akan minimal tetap.


Skenario Kedua

Pemerintah memutuskan untuk tidak menambah subsidi BBM dan harga BBM perlu naik. Skenario ini berdampak pada belanja negara yang tetap. Namun bagaimana dengan konsumsi publik? Apakah akan turun? Dengan asumsi bahwa komoditas BBM adalah inelastis (karena trasnportasi adalah sektor terbesar permintaan energi di Indonesia) dan penyedia BBM mayoritas juga adalah negara lewat PT Pertamina, sehingga berapapun naik dan turun harganya, permintaan adalah tetap, maka perlu dipertimbangkan apakah akan ada gejolak di masyarakat terkait kenaikan harga BBM ini.


Skenario Ketiga

Pemerintah memutuskan untuk tidak menambah subsidi BBM dan harga BBM pun tidak naik. Skenario ini berdampak pada kerugian PT Pertamina yang semakin besar (baca: Bijak Menerjemahkan Naik Turun Harga BBM) sehingga membahayakan keuangan PT Pertamina dan mengurangi pendapatan Pemerintah dari PT Pertamina juga.


Kesimpulan

Dari 3 skenario tersebut Pemerintah tentunya akan melakukan simulasi segala kemungkinan untuk mencari titik optimum sehingga pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan naiknya harga minyak mentah dunia, tidak serta merta harga jual BBM di Indonesia harus dinaikkan juga. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk menentukan suatu pengambilan keputusan kenaikan harga.


Oleh:

Muhammad Anwar Sena (Staff Divisi Kajian Energi Taktis HMTM "PATRA" ITB)

Muhammad Hamdan Abdillah (Staff Divisi Kajian Energi Taktis HMTM "PATRA" ITB)

Muhammad Irfan (Staff Divisi Kajian Energi Taktis HMTM "PATRA" ITB)

Khalid Umar (Kepala Divisi Kajian Energi Taktis HMTM "PATRA" ITB)


Referensi:

Slide kuliah Ekonomi Energi oleh Prof. Ir. Purnomo Yusgiantoro, M. Sc. MA., Ph.D.

Guidotti, Pablo, 2003, in Gonzalez, Corbo, Krueger, and Tornell, eds., Latin American Macroeconomic Reforms: The Second Stage.

https://voxeu.org/article/early-warning-indicators-and-2008-09-crisis-new-evidence

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/08/165656826/menilik-penyebab-inflasi-super-tinggi-di-venezuela.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180409071817-85-289340/ancaman-trump-bikin-harga-minyak-terjungkal

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3635784/harga-minyak-naik-dipicu-sanksi-as-batasi-ekspor-iran

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3641804/kekhawatiran-pasokan-akibat-sanksi-iran-bawa-harga-minyak-naik

 
 
 

Comments


©2018 by Indonesia Berdaulat Energi. Proudly created with Wix.com

bottom of page