Strategi Sektor Energi hadapi Merosotnya Rupiah
- Kajian Energi PATRA

- Sep 16, 2018
- 3 min read

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa rupiah sempat menyentuh level Rp.15.000 per US$ beberapa hari yang lalu. Hal tesebut membawa pengaruh yang cukup signifikan pada sektor energi terutama listrik dan migas.
Sektor listrik merasakan dampak yang cukup besar yakni penundaan pembangunan pembagkit listrik yang awalnya ditargetkan sebesar 35.000 MW, akan ditunda sebanyak 15.200 MW. Proyek yang ditunda adalah yang belum mendapatkan kepastian pendanaan (Financial Close). Sementara untuk sisanya yakni sekitar 20.000 MW, total yang sudah Commercial Date Operation (COD) atau sudah beroperasi mencapai 1.362 MW, sebanyak 17.116 MW sudah memilki pendanaan yang jelas dan beberapa darinya sudah dalam tahap konstruksi, serta 13% dari total proyek masih dalam tahap pengadaan/perencanaan.
Jadi, beberapa proyek yang seharusnya bisa selesai 2019, ada yang mundur hingga 2021 bahkan 2026. Penundaan ini dilakukan untuk mengurangi impor komponen proyek yang membebani neraca transaksi berjalan dan menyebabkan defisit. Defisit ini dikhawatirkan akan terus berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah seperti yang telah terjadi saat ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan ada dua kriteria apakah proyek dilanjutkan atau ditunda. Pertama, apakah proyek sudah masuk kesepakatan pembiayaan (financial closing). Kedua, urgensi proyek tersebut untuk dibangun saat ini. Program 35.000 MW harus selesai 2019 dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional di atas 7 persen. Sedangkan realisasi pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir dan beberapa tahun ke depan diperkirakan sekitar 5 persen, sehingga perkiraan peningkatan tambahan kebutuhan listrik hingga tahun 2019 berkisar 20.000 MW. Selebihnya akan beroperasi pada tahun 2024-2025, seiring pertumbuhan kebutuhan listrik hingga tahun tersebut.
Untuk mengurangi impor, pemerintah juga akan menggalakan penggunaan barang dalam negeri. Jadi, pemerintah tidak akan setujui rencana impor yang barangnya bisa diproduksi dalam negeri, baik di sektor minyak dan gas bumi (migas) atau listrik. Saat ini realisasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air hanya 20%. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kira-kira 57%. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi untuk kapasitas 5 MW hanya 10%, tapi 10-60 MW bisa 30%. Pembangkit Listrik Tenaga Gas kira-kira 43% dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap sekitar 30%.
Strategi Pertamina
Di sektor migas sendiri, Pertamina sudah mempersiapkan strategi dalam menghadapi pelemahan rupiah ini. Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas'ud Khamid mengatakan ada 3 langkah:
a. Penggunaan B20
Program pencampuran minyak nabati atau sawit ke Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 20% (B20). Setidaknya 20% dari volume solar itu yang sebelumnya impor, akan berkurang dan digantikan biodiesel. Untuk penggunan B20 di Indonesia, sejatinya telah dimulai sejak tahun 2016, namun pada saat itu hanya beberapa wilayah di Indonesia saja yang menyediakan B20. Pada tahun 2018 ini pemerintah mewajibkan penerapan B20 di seluruh SPBU. Selain itu, Indonesia juga merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Sehingga, penggunaan B20 secara tidak langsung juga akan menstabilkan harga minyak sawit, yang belakangan harga nya jatuh akibat adanya pelarangan penggunaan minyak sawit di Eropa.
b. Pembelian minyak bagian K3S
Pembelian minyak jatah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri dilakukan agar impor berkurang. Selama ini Pertamina membeli minyak bagian negara untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri. Dengan asumsi pembelian minyak itu menggunakan harga pasar, potensi penghematan devisa didapatkan dari selisih harga impor minyak mentah dengan harga pembelian minyak bagian kontraktor yang selama ini diekspor. Namun hal ini menyalahi aturan yang mengatur bahwa K3S bebas menjual bagian minyaknya kepada siapapun.
(silahkan baca: Crude Oil KKKS Harus dijual ke Pertamina, bagus kah? dan
c. Efisiensi di sektor operasional
Efisiensi yang dimaksud seperti mengurangi penggunaan barang impor pada proses pembangunan proyek. Jadi, Pertamina akan meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di lapangan dan fasilitas milik mereka.
Selain itu, Pertamina juga tidak akan menaikkan harga BBM hingga 2019 di tengah melemahnya Rupiah. Tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat. Pertamina tidak menaikkan harga agar masyarakat menengah ke bawah tetap bisa mengakses BBM dengan harga yang terjangkau. Namun kebijakan tersebut tentu akan berdampak pada keuangan Pertamina karena dengan melemahnya rupiah, kerugian akan bertambah sekitar 1000/liter untuk setiap jenis BBM yang menjadi beban Pertamina di hilir ( silahkan baca: Bijak Menerjemahkan Naik Turun Harga BBM). Belum lagi beban Pertamina di program BBM satu harga.
Jika melihat dari permasalahan di atas ada baiknya jika Pemerintah segera membuat kebijakan untuk menaikkan harga BBM diluar Premium dan Solar, dengan aturan tambahan berupa penerapan subsidi tepat sasaran. Sehingga nantinya hanya masyarakat menengah ke bawah-lah yang diperbolehkan mengkonsumsi Premium. Selain itu, hal ini juga akan membuat masyarakat lebih tertarik untuk beralih ke trasportasi massal yang berujung pada berkurangnya konsumi BBM dan turunnya beban impor.
Referensi:
Oleh: Rangga Afyan Dwiokta (Staff Divisi Kajian Energi Taktis HMTM "PATRA" ITB)





Comments