Crude Oil KKKS Harus dijual ke Pertamina, bagus kah?
- Kajian Energi PATRA

- Aug 26, 2018
- 2 min read
Regulasi tentu dibuat sebagai aturan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang terkait. Pada bisnis minyak dan gas tentu memiliki regulasi guna berjalannya industri ini di Indonesia. Di Indonesia, regulasi yang mengatur industri Minyak dan Gas dibuat oleh Kementerian ESDM.
Terdapat wacana untuk mengubah regulasi yang sudah ada di Indonesia. Pemerintah selaku pemegang kekuasaan untuk membuat dan merubah regulasi berencana menerapkan kebijakan agar seluruh minyak mentah yang selama ini diekspor dan bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama, dapat dibeli oleh Pertamina. Kebijakan ini diinterpretasikan bahwa Kontraktor Kontrak Kerja Sama wajib menjual minyak mentah bagian mereka kepada Pertamina. (Pendahuluan tentang hal ini dapat Anda baca di sini
Hal ini memiliki dampak yang besar terhadap industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Pada sisi devisa negara, hal ini berdampak postif karena bisa menghemat devisa negara. Hal itu bisa terjadi dengan asumsi pembelian minyak menggunakan harga pasar, potensi penghematan devisi diperoleh dari selisih impor minyak mentah dengan harga ekspor minyak mentah dikali dengan volume minyak mentah yang menjadi bagian dari kontraktor selama ini diekspor.
Formulanya sebagai berikut :
(Harga impor – harga ekspor) x volume ekspor
Penghematan devisa yang diperoleh dipengaruhi juga dengan biaya transportasi pengiriman crude oil. Akan tetapi, dengan kondisi geologis Indonesia, biaya transportasi dari Malaysia atau Singapura akan lebih murah dibandingkan biaya transportasi dari Papua. Namun demikian, masih banyak lokasi sumber minyak KKKS yang berdekatan dengan kilang minyak Pertamina yang dapat menghemat biaya transportasi.

Jumlah penghematan devisa dari biaya transportasi kurang lebih dapat mencapai US$ 100 – US$ 500 juta per tahun. Kebijakan ini kurang lebih dapat mengurangi defisit neraca perdagangan migas dalam kisaran 1% - 10%. Potensi penghematan tersebut bergantung dengan harga, volume, dan sumber minyak mentah yang diekspor atau impor serta kondisi pasar minyak pada saat itu.
Akan tetapi, kebijakan ini berpotensi menghadirkan masalah karena melanggar kontrak kerjasama yang selama ini diberlakukan. Dengan tidak menghormatinya kontrak bisnis yang telah disepakati, dikhawatirkan akan memberikan sinyal yang tidak kondusif bagi investasi di sektor hulu migas. Nilai investasi hulu migas diketahui menunjukan tren yang menurun. Pada semester 1 tahun 2018, investasi hulu migas mencapai US$ 3.9 miliar.

Apabila hingga akhir tahun terjadi penurunan investasi sebesar 10% dari tahun 2017, maka pemerintah akan kehilangan US$ 930 juta, nilai tersebut sudah melebihi potensi penghematan devisa sekitar US$100 – 500 juta per tahun. Maka dari itu, kebijakan ini dapat menimbulkan potensi masalah yang akan merugikan Indonesia nantinya.
Oleh : Muhammad Hamdan Abdillah (Staff Divisi Kajian Energi Taktis HMTM "PATRA" ITB)
Referensi :





Comments